Minggu, 06 November 2011

Walau Hanya Sebuah Lukisan




Siang itu terasa berbeda dari biasanya. Awan-awan nampak gelap, matahari tidak menampakan dirinya melainkan bersembunyi di balik awan, angin pun berhembus dengan kencang seraya tak mau kalah dengan yang lainnya. Begitu juga dengan pepohonan yang terlihat, bagaikan sedang menari-nari di dalam kegelapan. Semuanya tampak seperti tak bersahabat. Reni pun bertanya-tanya dalam hati, “Apakah yang akan terjadi?” , hatinya gelisah tak tentu arah.
Tak lama setelah itu, terdengar gemercik air yang turun dengan perlahan hingga akhirnya turun deras dan membasahi sekujur tubuhnya. Seiring hujan yang deras, dia pun berlari mencari tempat untuk berteduh. Pada saat yang bersamaan, terdengar suara kilat yang begitu keras, “Geleegaaaarrr….!!!”, ia pun terkejut seraya berkata, “Astaghfirullah, lindungi hamba-Mu ini ya Allah”. Tapi ia terus berlari hingga akhirnya tiba di sebuah gubuk yang bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Karena tidak ada pilihan lain, ia pun akhirnya memilih gubuk itu untuk berteduh sembari menunggu hujan reda. Ketika memasuki gubuk tersebut, dipandanginya sekeliling gubuk itu, ia melihat seperti ada sesuatu yang berbeda. Tak ada apa-apa di dalamnya, kecuali sebuah lukisan yang masih terpampang rapi di dinding. Sebuah lukisan tua yang menggambarkan seorang nenek yang sedang membawa setumpuk kayu bakar. Nenek yang ada di lukisan itu terlihat sudah sangat tua, keriput di wajahnya, dan rambutnya yang semakin memutih. Reni pun berpikir, “Alangkah kuatnya nenek itu, dengan kondisi seperti itu, ia masih tampak seperti muda”. Ia terus memandangi lukisan itu tanpa hentinya. Segenap ia merenungkan diri. “Aku di rumah hanya tinggal berdua bersama ibu dan kini usiaku sudah 18 tahun. Ayah meninggal ketika aku berumur 5 tahun. Sekarang tinggalah ibu yang selalu ada bersamaku”. “Aku selalu merepotkan beliau, padahal beliau tidak pernah merepotkanku”. Tetesan air mata mengalir dari mata Reni, ia pun menangis sejenak mengingat semua itu. Ia kembali melihat lukisan itu dan teringat akan ibunya yang di rumah. “Sedang apa ibu sekarang ?? apa aku masih bisa melihatnya untuk kesekian kalinya ? hiks…hiks..,” ujar Reni sambil menangis. Tak lama dari itu, hujan pun mulai reda. Reni bergegas keluar sambil memegang lukisan tadi. “Padahal kau hanya sebuah lukisan, tapi begitu banyak makna yang tersirat. Kini aku mengerti maksud dari semua ini,” ucap Reni dalam hati. Ia segera meletakkan lukisan tersebut dan bersiap untuk pulang.
Ketika sedang dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan seorang nenek tua. Di lihatnya nenek itu sedang membawa sesuatu. Tiba-tiba ia teringat akan lukisan tadi. Lukisan seorang nenek tua yang bekerja keras demi hidupnya. Melihat nenek yang ada di depannya, hatinya pun tersentuh. Karena merasa kasihan, ia pun menghampiri nenek itu.
“Maap nek, biar aku bantu membawanya”, ucap Reni.
“Eh..terima kasih nak, tapi nenek masih kuat kok,” jawab nenek.
“Tidak apa-apa nek, nanti nenek kecapekan. Untuk seumuran nenek, tidak baik membawa barang-barang seperti ini”, bujuk Reni.
“Ya sudah, tapi terima kasih ya nak. Kamu memang anak yang baik”, jawab si nenek.
Akhirnya ia pun membawa barang nenek tersebut. Entah kenapa pada saat itu, Reni merasa sangat bahagia.
“Oh ya nek, rumah nenek di mana ?” Tanya Reni.
“Tidak jauh kok nak, sebentar lagi sampai,” jawab nenek.
“Oh iya nek, kalau boleh aku tau, barang ini mau di apakan?” Tanya Reni.
“Untuk di jual nak, biar bisa buat makan sehari-hari,” jawab nenek.
“Memangnya anak nenek tidak kerja ?” Tanya Reni untuk kesekian kalinya.
“Nenek tidak punya anak nak, hanya tinggal sebatang kara. Setiap hari nenek bekerja keras menjual barang-barang ini supaya bisa makan, walau hasilnya tidak seberapa,” ucap nenek sambil menahan air mata.
Tiba-tiba Reni pun berhenti dari langkahnya. Ia terkejut mendengar ucapan nenek. Kemudian, ia pun menangis dan memeluk si nenek. Dan pada waktu yang bersamaan pula, sang nenek meneteskan air matanya. Dari situlah ia melihat perjuangan seorang nenek demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Mereka berdua tampak seperti seorang ibu dan seorang anak. Setelah sekian lama menangis, Reni pun mengusap air matanya dan air mata nenek. Mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah nenek.
“Nak, kita sudah sampai,” ucap nenek.
“Di mana rumah nenek ? aku tidak melihatnya”, jawab Reni.
“Itu nak….”, ujar nenek sambil menunjuk ke arah sebuah gubuk.
Reni pun terdiam dan hatinya berkata, “Bukankah itu gubuk yang aku tumpangi sewaktu hujan tadi. Padahal gubuk ini sudah tidak layak.”
“Ayo nak…kita masuk dulu. Mungkin ini bisa dibilang sebuah gubuk, bukan sebuah rumah”, ucap nenek.
“Nek, sebelumnya aku minta maap karena sewaktu hujan deras, aku sempat berteduh di sini tanpa sepengetahuan nenek”, kata Reni.
“Tidak apa-apa nak, gubuk ini memang sering dimasuki orang. Mungkin orang-orang mengira bahwa gubuk ini tidak berpenghuni”, ucap nenek.
Sejenak Reni pun tersentak, ia kembali merenungi hal tadi. Tiba-tiba ia teringat akan lukisan yang tadi.
“Nek, tadi sewaktu aku berteduh, aku sempat melihat lukisan yang terpampang. Apa aku boleh melihatnya ?”, Tanya Reni.
“Oohh…lukisan itu, boleh nak. Itu satu-satunya lukisan peninggalan suami nenek”, jawab nenek.
“Memang suami nenek di mana ?”, Tanya Reni dengan pelan.
“Suami nenek sudah meninggal sejak 10 tahun yang lalu, beliau ditabrak mobil ketika sedang membawa barang-barang seperti yang nenek bawa nak”, jawab nenek dengan sedih.
Hati Reni kembali tersentuh mendengar cerita nenek. Ia sadar begitu banyak liku-liku kehidupan yang harus dilewati. Ketika itulah, tiba-tiba terlintas di pikiran Reni untuk membawa sang nenek ke rumah dan menjadikannya sebagai nenek angkatnya.
“Nek, betapa beratnya hidup yang nenek lewati. Tapi nenek begitu tegar menghadapinya, walaupun usia nenek yang semakin tua”, ucap Reni sedih.
“Ya inilah namanya hidup nak, kita diberi ujian oleh yang di atas. Dari sinilah kita mendapat pelajaran”, jawab nenek.
“Alangkah beruntungnya keluarga nenek memiliki orang seperti nenek”, kata Reni.
“Ah kamu bisa saja nak, tapi apa daya kini nenek hanya hidup sebatang kara. Hanya lukisan yang terpampang itulah yang selalu menemani hari-hari nenek. Begitu banyak kenangan yang tersirat pada lukisan itu, terutama almarhum suami nenek”, ucap nenek hampir menangis.
“Jangan sedih nek, kan masih ada aku”, hibur Reni.
“Terima kasih nak, kamu memang anak yang baik. Orang tuamu sangat bangga bila mempunyai anak sepertimu”, ucap nenek.
Ketika sang nenek membicarakan tentang orang tuanya, hati Reni kembali tersentak dan keluar air mata dari kedua bola matanya.
“Hiks..hikss...hiks…Sebenarnya aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Ayah sudah lama meninggal. Hampir setiap hari aku selalu merepotkan ibuku. Aku selalu memaksakan kehendak tanpa memikirkan perasaan ibu. Dan sekarang aku sedang melarikan diri dari rumah karena ibu tidak mau membelikan apa yang aku inginkan. Hingga akhirnya aku terjebak hujan dan berteduh di tempat ini. Dan di sinilah aku melihat sebuah lukisan yang telah menyadarkan hatiku akan pahitnya sebuah kehidupan. Ternyata selama ini aku egois. Aku bukan anak yang baik, nek. Hiksss….hikss…hiksss”, jelas Reni sambil menangis.
Si nenek terkejut dan berkata,”Subhanallah…sudahlah nak, penyesalan selalu datang di akhir. Mungkin ini bisa menjadi pelajaranmu untuk ke depannya. Janganlah kamu kasar kepada ibumu, beliau adalah bagian dari hidupmu. Bersyukurlah kamu pada Allah, nak. Karena Dia telah menyadarkanmu lewat perantara lukisan ini.”
“Terima kasih nek, sudah mau mendengar semua ceritaku. Apabila tidak keberatan, apakah nenek mau tinggal bersama kami berdua???”, Tanya Reni.
“Hmmm…..apa boleh nak ? bila diperkenankan, nenek tidak keberatan”, jawab nenek.
“Alhamdulillah…kalau begitu ayo kita menemui ibu di rumah sekarang, nek. Oh iya nek, jangan lupa untuk membawa lukisan yang indah itu. Karena lewat lukisan itulah, Allah menyadarkanku akan sikap-sikapku yang buruk”, ucap Reni senang.
Dan akhirnya Reni mengajak si nenek ke rumah dan menemui ibunya. Sesampai di rumah, ia meminta maap atas kesalahannya selama ini kepada ibunya. Ibunya menangis bahagia melihat anaknya Reni telah sadar. Kemudian Reni memperkenalkan si nenek kepada ibunya. Ibunya tidak keberatan dan merasa senang karena nenek sudah mau tinggal bersama. Lalu Reni menceritakan semua peristiwa yang dialaminya tadi. Ia menjelaskan kepada ibunya bahwa Allah telah menyadarkan hatinya lewat perantara lukisan yang ia bawa. Semenjak itulah, Reni berubah total menjadi anak yang soleha dan berbakti pada ibunya. Dia bersama ibu dan nenek angkatnya kini hidup makmur. Walau hanya sebuah lukisan tua, tapi banyak makna yang tersirat di dalamnya.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar